dari hati untuk semua….

Archive for February, 2011

15 Peyebab Datangnya Musibah


Dari Ali bin Abi Thalib Ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku telah melakukan lima belas perkara, maka halal baginya (layaklah) ditimpakan kepada mereka bencana.” Ditanyakan, apakah lima belas perkara itu wahai Rasulullah?Rasulullah Saw bersabda: “Apabila…

1. Kekayaan negara hanya beredar pada para penguasa,

2. Amanah (barang amanah) dijadikan sebagai harta rampasan,

3. Zakat dianggap sebagai cukai (denda),

4 .Suami menjadi budak istrinya,

5. Mendurhakai ibunya,

6. Mengutamakan sahabatnya,

7. Berbuat zalim kepada ayahnya,

8.Terjadi kebisingan (suara kuat) dan keributan di dalam masjid (yang bertentangan dengan syari’ah),

9. Orang-orang hina, rendah, dan bejat moralnya menjadi pemimpin umat (masyarakat),

10. Seseorang dihormati karena semata-mata takut dengan kejahatannya,

11. Minuman keras (khamar) dan tersebar merata dan menjadi kebiasaan,

12. Laki-laki telah memakai pakaian sutera,

13. Penyanyi dan penari wanita bermunculan dan dianjurkan

14. Alat-alat musik merajalela dan menjadi kebanggaan atau kesukaan,

15. Generasi akhir umat ini mencela dan mencerca generasi pendahulunya;.

Apabila telah berlaku perkara-perkara tersebut, maka tunggulah datangnya malapetaka berupa; taufan merah (kebakaran), tenggelam ke dalam bumi (gempa bumi), dan perubahan-perubahan atau penjelmaan-penjelmaan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain. (HR. Tirmidzi, 2136 dari Ali bin Abi Thalib)

SYARAT –  SYARAT  PEMIMPIN :

  • Mukhlish (HR. An-Nasai),
  • Cerdas dan sehat ( Al-Baqoroh 2 : 247 ),

247. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.

  • Tawadlu’ ( Asy Syu’araa’  26: 215 ),

215. dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,Yaitu orang-orang yang beriman.

  • Penyantun ( Ali ‘Imran  3 : 159 ),

159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

  • Berani dan sportif ( At Taubah 9 :13 ),

13. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), Padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

  • Jujur ( HR. Al-Bukhari dan Muslim ),

“Hendaklah kalian berlaku jujur karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan jalan menuju surga”

  • Pemaaf ( Ali ‘Imran  3 :134 ),

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

  • Sabar ( Ali ‘Imran  3 : 200 ),

200. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.

  • Adil ( Al Maa-idah  5 : 8),

8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

  • Lapang dada (HR. Abu Dawud), dan
  • Melindungi umatnya (HR. Muslim).

Pendapat Buya HAMKA tentang Ahmadiyah

by Imam P Hartono Full on Thursday, February 10, 2011 at 3:25pm

Pendapat Buya HAMKA (Hadji ‘Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah) tentang Ahmadiyah

Assalamualaikum wr.wb

Sahabatku rahimakumullah,

Terlampir adalah sebuah kutipan oleh Buya Hamka (salah satu Ulama dan sastrawan Besar yang pernah lahir di Indonesia) tentang apa itu Ahmadiyah yang saya sunting dan kutip dari buku HAMKA, 1956, “Peladjaran Agama Islam,” Penerbit “Bulan-Bintang,” Djakarta, Tjetakan Pertama.

 

Semoga bermanfaat.

Wassalamualaikum, IPH

TAK ADA NABI SESUDAH MUHAMMAD

 

Tak ada lagi nabi sesudah Muhammad, dan tidak ada rasul. Baik nabi yang akan dinamai “pengiring” Muhammad, atau nabi yang membawa syariat baru. Demikian kepercayaan Ummat sejak Quran diturunkan.

 

Nabi Muhammad pun bersabda:   “Tidak ada nabi lagi sesudahku.”

 

Tak ada nabi atau rasul lagi, sebab tidak ada SOAL lagi.

 

Soal apa lagi yang akan dibawa oleh nabi yang baru? Sedang masyarakat manusia sudah lebih maju, dan ada jalan kesanggupan buat mencari Kebenaran Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa dengan sendirinya. Bukan saja Quran, bahkan kitab Taurat dan Injil dan Zabur telah dicetak bermilliun banyaknya. Meskipun menurut kepercayaan Islam, dalam Quran telah terkumpul intisari dari kitab-kitab terdahulu itu.

 

Memang! Manusia senantiasa maju dalam mencari Ilmu pengetahuan. Senantiasa maju didalam mencari rahasia isi bumi, bahkan bulan dilangitpun telah diselidiki orang. Tentang kemajuan disudut ini, tidaklah ada diantara kita yang membantahnya. Tetapi bagaimanapun kemajuan Ilmu pengetahuan, namun inti dari ilmu pengetahuan itu sudah ada dalam ajaran Tauhid, yang sudah genap diajarkan oleh Muhammad. Inti kepercayaan kepada Tuhan sudah cukup, tidak perlu tambahan lagi dari orang yang mengatakan dirinya nabi atau dikatakan oleh pengikutnya nabi.

 

halaman 191

 

PERCOBAAN MENGAKU NABI LAIN SESUDAH MUHAMMAD

 

Berkali-kali telah dicoba orang juga mendakwakan dirinya Nabi pula, ada yang sengaja hendak menandingi Muhammad, dan ada pula yang mengatakan syariat Muhammad telah putus, sebab nabi baru telah datang membawa syariat baru. Dan ada pula yang mengatakan bahwa dia, atau guru ikutannya, adalah nabi pula sesudah Muhammad. Tetapi bukan membawa syariat baru. Kedatangannya hanyalah hendak menyempurnakan syariat Muhammad saja.

 

Berkali-kali orang seperti ini telah datang, tetapi kemudian ternyata seruannya hilang saja, tidak hidup. Karena kebesaran Tauhid ajaran Muhammad menelan habis satu percobaan yang lain. Nabi-nabi dusta tumbang dengan sendirinya, tidak dapat berurat di bumi ini. Mereka gagal, karena dustanya, dan karena soal yang dibawanya itu tidak cukup satu seperseratus dari soal Nubuwwat Muhammad.

 

 

AHMADIYAH

Mirza Ghulam Ahmad di Qadiyan India-pun mendakwakan pula dirinya Mahdi dan Isa. Jadi sekaligus keduanya, berbeda dengan Al-Bab dan Bahaullah. Diapun menerima wahyu-wahyu Illahi, menurut dakwanya. Tetapi ada perbedaan sedikit, karena Mirza Ghulam Ahmad, katanya, bukanlah menghapuskan syariat Muhammad dengan syariat yang baru. Dia adalah Nabi Pengiring. Dialah Mahdi yang ditunggu dan Isa yang dijanjikan, dan dia pulalah Mujaddid yang mesti datang tiap seratus tahun sekali.

 

Pengikut Mirza Ghulam Ahmad pun pecah menjadi dua pula. Keduanya sama-sama bernama Ahmadiyah. Pertama, Ahmadiyah Qadiyan, mempunyai Kalifatul-Masih yaitu Kalifah dari Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Golongan Lahore memisahkan diri dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad hanyalah semata-mata guru dan mujaddid. Terjadi pertentangan diantara keduanya, karena golongan Qadiyan menuduh kafir golongan Lahore karena hanya mengakui mujaddid saja. Golongan Lahore yang memisahkan  diri itu dikepalai oleh Maulana Mohammad Ali dan Kawaya Kamaluddin.

 

Kedua golongan Ahmadiyah ini sama-sama berusaha menyiarkan Islam, tetapi melalui dasar faham mereka lebih dahulu, yaitu Mirza Ghulam Ahmad (Al-Masih al-Mau’ud) bagi Qadiyani, dan Mirza Ghulam Ahmad (Mujaddid Abad ke-20) bagi kaum Lahore.

 

halaman 194

PENDAPAT KITA

 

Kita tetap memegang pendirian Ahli Sunnah, bahwa sesudah Muhammad tidak akan datang nabi lagi. Karena soalnya sudah habis. kalau akan kita terima kedatangan itu, manakah yang akan kita tetapkan? Apakah Mirza Ghulam Ahmad, atau Mirza Ali Muhammad (Al-Bab), atau Bahaullah? Atau kita akui semuanya, padahal diantara satu sama lain berlawanan pula. Atau kita akui semuanya, dan kita akui pula yang lain yang akan mendakwakan dirinya menjadi nabi pula nanti.

 

Kalau dikatakan karena dia menyerukan perdamaian Dunia, maka dia membawa syariat baru, tidak bolehkah Mahatma Gandhi dikatakan pula nabi? Atau Krisna Vedanta di Colorado? Yang juga menyerukan perdamaian dunia.

 

Kaum Ahmadi  mengemukakan alasan yang sama untuk menolak pendirian umum bahwa Nabi Muhammad “Penutup Segala Nabi,” dengan ayat “Khataman Nabiyyin.” Menurut qiraat (bacaan) yang umum ayat itu dibaca “Khatam,” bukan “Khatim.” Tetapi artinya adalah “Khatim.” Khatam artinya cincin, dan Khatim artinya penutup.

 

Khataman Nabiyyin artinya cincin permata segala nabi. Kalau sekiranya kita perturutkan rasa bahasa, tentu Nabi Muhammad itu tidak nabi lagi, hanyalah cincin perhiasan segala nabi-nabi. Yang mempunyai cincinlah yang nabi, bukan cincin itu sendiri.

 

Didalam keterangan yang biasa mereka kemukakan, adalah bahwa tidaklah perkara yang mustahil bahwa Allah akan berkata-kata dengan hambanya. Tidaklah akan putus sampai hari kiamat orang yang dipilih Allah buat menumpahkan katanya. Tidaklah akan hilang begitu saja wahyu sampai kiamat.

 

Tentang itu Ahli Sunnah-pun mengakui juga. Di kalangan sahabat Nabi, ketika Nabi masih hidup terdapatlah orang istimewa yang demikian. Yaitu Umar bin Khattab. Sehingga Nabi Muhammad pernah mengatakan, bahwasanya jika ada nabi sesudahku, niscaya Umarlah orang itu. Tetapi tidak ada lagi nabi sesudahku.

 

Mengapa tidak? Nabi Muhammad sendiri menjelaskan bahwa “Ulama-ulama umatku adalah sama derajatnya dengan nabi-nabi Bani Israil.” Kalau kata nabi yang demikian akan diperluas, maka seluruh ulama yang berjasa membangun Islam, patutlah disebut nabi. Imam Al-Ghazali, Imam ul Haramain, Ibnu Taimiyah, dan muridnya Ibnu Qayyim, dan Syeh Muhammad ibnu Abdil Wahhab, dan Said Jamaluddin Al-Afghani, dan Syeh Muhammad Abduh dan Said Rasyid Ridha, patutlah disebut sebagai nabi. Karena mereka dalam sifat keulamaannya samalah jasanya dengan nabi-nabi Bani Israil. Dan orang Indonesia dalam kalangan Nahdhatul Ulama patutlah menyebut kyai besarnya Hasyim Ashari sebagai nabi, sebab jasanya besar pula. Demikian pula Muhammadiyah dengan Kyai H.A. Dahlannya.

 

Banyak diantara ulama mendapat ilham dari Tuhan, seakan-akan wahyu Illahi. Karena mereka berfaham Ahli Sunnah, tidaklah mereka berani mengatakan dirinya nabi. Dan kalau mereka mendakwakan dirinya nabi, akan musnahlah mereka.

 

Kalimat wahyu suci yang diberikan Tuhan, oleh faham Ahli Sunnah telah ditentukan buat rasul dan nabi. Setinggi-tinggi martabat manusia ini hanyalah mendapat hatif atau ilham, atau mimpi yang benar, atau mahaddas. Kalau wahyu itu dikatakan akan putus selama-lamanya, perkataan itu benar juga dari segi lain. Lebah menurut Sabda Tuhan didalam Quran, mendapat wahyu untuk membuat sarangnya di bukit dan di bubungan rumah. Ibu Musa mendapat wahyu Tuhan supaya melemparkan puteranya dalam peti di sungai Nil. Dan lebah bukanlah nabi, padahal sampai sekarang tidaklah putus dia mendapat wahyu itu, selama dia masih bersarang di bukit dan di bubungan rumah. Dan ibu Nabi Musa bukanlah nabi.

 

HADIST MAHDI DAN ISA

 

Al-Quran tidaklah memberikan tuntunan yang tegas tentang akan turunnya Mahdi dan Isa di akhir jaman. Padahal tiga orang yang mengaku dirinya Nabi atau Rasul di jaman ini (Mirza Ghulam Ahmad, Miza Ahli Muhammad dan Bahaullah), belum dapat menegakkan pendakwaan itu, kalau tidak berdasar kepada hadis-hadis tentang turunnya Mahdi dan Isa itu.

 

Seratus tahun sesudah Nabi Muhammad wafat, barulah orang mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan hadis. Yang lebih dahulu dikumpulkan hanyalah Quran. Jadi dalam masa 100 tahun adalah masa “kosong” yang merupakan kesempatan untuk membuat hadis bagi golongan-golongan yang bertentangan. Terutama kaum Syiah. Payahlah ulama hadis menjaring hadis mana yang masyhur, mana yang shahih, mana yang dhaif dan mana yang maudhu. Pertentangan-pertentangan yang maha hebat di waktu itu di antara beberapa firkah yang timbul karena politik, menimbulkan golongan-golongan yang sampai hati membuat hadis-hadis palsu, sehingga payah menjaringnya setelah ilmu hadis muncul sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Ibnu Khuldun didalam “Muqaddamah” tarikhnya mengkaji satu-persatu hadis Mahdi itu dan menyelidiki sanad serta matannya sedalam-dalamnya, sehingga kemudian diambil kesimpulan bahwasanya sebagian besar dari hadis ini tidak dapat diterima. Oleh sebab itu maka kaum Ahli Sunnah tidaklah menjadikan hadis-hadis Mahdi atau nuzul Isa itu menjadi pokok kepercayaan prinsipiil.

 

Ulama tafsirpun berbincang hebat tentang turunnya Nabi Isa. Lebih-lebih telah tersebut pula dalam satu hadis, bahwa “Mahdi itu tidak lain adalah Isa.” Mereka perbincangkan apakah Isa itu masih hidup, lalu diangkat Tuhan kelangit, ataukah dia telah meninggal dunia sebagaimana kebanyakan manusia. Tuhan bersabda tentang Nabi Isa:

 

“Sesungguhnya Aku mewafatkan engkau  dan mengangkatkan engkau kepadaKu.”

 

Orang yang memegang kepercayaan bahwa Nabi Isa belum mati, dan hanya menguatkan bahwa Nabi Isa diangkat ke langit dengan tubuhnya, terpaksa mesti mencari arti yang lain dari kata “wafat” itu. Tetapi yang berpendapat bahwa Nabi Isa mati, langsung saja mengartikan ayat itu menurut zahir bunyinya. Mula-mula beliau wafat, setelah itu beliau diangkat ke hadirat Tuhan, sebagaimana setiap insan yang mulia. Sebab itu ke-angkat-an itu tidak mesti ke langit, melainkan ke hadirat Tuhan.

 

Orang Ahmadi memegang tafsir yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah wafat, telah mati. Dan kemudian dari hal itu, merekapun menguatkan bahwa Nabi Isa akan datang kembali. Yang datang itu bukan Isa Israili yang dahulu, karena dia telah jelas meninggal. Yang ditunggu kedatangannya sebagaimana tersebut dalam hadis adalah orang lain yang membawa sifat-sifat Isa. Kata orang Ahmadi, orang itu adalah Mirza Ghulam Ahmad.

 

Sebenarnya kepercayaan tentang akan datangnya Mahdi diakhir zaman, atau Nabi Isa akan datang kembali, atau Messiah menurut kepercayaan Yahudi, atau Buddha Gautama bagi orang beragama Buddha, mendalam juga dalam kalangan kaum Syiah yang selalu menunggu-nunggu kembalinya Imam mereka yang ghaib. Ismailliyah menunggu Ismail. Istna Asyriyah menunggu Muhammad bin Hasan Al-Askary, Imam Syiah ke-12. Kisaniyah menunggu datangnya kembali Muhammad bin Ali Hanafiyah Semuanya itu sekarang tengah ghaib dan akan datang kembali!

 

Kepercayaan seperti inipun mendalam pula pada setengah penganut tasawuf, yang mempercayai bahwa alam diatur oleh wali-wali Allah yang bernama “Watad,” dan “Badal,” dan “Quthub.” “Quthub” itu adalah ghaib pula. Di Indonesia kepercayaan ini sangat mendalam dalam filsafat kejawen yang menunggu kedatangan Ratu Adil.

 

Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dialah yang ditunggu-tunggu itu. Dialah Isa Al-Masih yang dijanjikan, dia pula Mahdi yang ditunggu-tunggu. Dan karena ada pula sebuah hadis menyatakan bahwa setiap 100 tahun akan datang seorang mujaddid (pembaharu keagamaan), maka dia pulalah mujaddid itu. Pendeknya segala yang ditunggu-tunggu itu, tidak ada orang lain, melainkan dirinya sendirilah.

 

Oleh karena dialah Al-Masih, tentu dialah nabi. Kadang-kadang Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dia bukanlah membawa syariat baru. Dia dengan Nabi Muhammad saw adalah bagaikan Harun terhadap Musa belaka. Penguat syariat Muhammad, bukan pengubahnya. Tetapi satu hal dia menyatakan memang berubah yaitu jihad. Jihad tidaklah dengan senjata, cukup dengan mengemukakan alasan-alasan belaka. Adapun Bahaullah menyatakan dirinya terang-terang nabi lain sesudah Muhammad. Dengan kedatangannya habislah tugas agama Al-Bab dengan kitabnya Al-Bayan. Dan dengan kedatangan Al-Bab dahulu, habis pulalah tugas syariat Muhammad.

 

Adapun dasar kepercayaan kita dengan berpegang kepada ayat yang tertulis di atas tadi nyatalah bahwa Nabi Isa telah wafat. Nabi Isa telah wafat, dengan berdasarkan kepada “mutawaffika” tadi. Dan dia telah diangkat ke hadirat Allah, (wa rafi’uka ilayya), sebagaimana setiap roh yang suci senantiasa diangkat menghadap ke hadirat Allah.

 

Adapun tentang turunnya kembali beliau ke dunia, sebelum hari kiamat datang, adalah hadis yang bernama “Al-Uhad.” Tidak termasuk kedalam hadis yang mutawatir. Maka menurut pertimbangan ahli-ahli hadis, kalau sekiranya tidak kita jadikan menjadi pokok kepercayaan, sebagaimana pokok kepercayaan yang enam perkara (rukun iman), tidaklah kita keluar dari Agama Islam.

 

Meskipun demikian tidaklah boleh kita menolak kekuasaan Tuhan. Turunnya Nabi Isa kembali ke dunia, tidaklah hal yang mustahil, walaupun tulangnya telah hancur. Bukanlah didalam Al-Quran ada tersebut cerita burung-burung yang telah dicincang lumat oleh Nabi Ibrahim atas perintah Tuhan. Burung itu empat ekor banyaknya. Lalu dihantarkan ke puncak empat buah bukit. Tuhan memerintahkan kepada Ibrahim supaya empat burung itu dipanggil kembali. Maka datanglah keempat burung itu, dengan izin Allah!

 

Dipandang dari segi kepercayaan ini, datangnya Nabi Isa kembali ke dunia setelah beribu tahun beliau wafat, hanyalah permulaan saja dari kebangkitan mahluk Tuhan yang lain. Seluruh insan dihari kemudian akan dibangkitkan. Hanya Isa Al-Masih didahulukan. Hal ini biasa saja bagi Tuhan.

 

Oleh sebab itu, maka pendakwaan orang-orang seperti Mirza Ghulam Ahmad, bahwa merekalah Isa Al-Masih yang dijanjikan itu, tidaklah kita percayai. Kita memandang mereka itu hanyalah sebagai pendakwa-pendakwa kenabian yang lain juga. Sebelum merekapun telah ada juga pendakwa kenabian itu. Menggelegak menggejala setahun dua tahun, taruhlah sepuluh-duapuluh tahun, kemudian padam lagi. Dan kelak akan begitu pula. Bukan saja yang seperti ini ada dalam Islam, juga ada dalam agama Kristen. Bahkan kaum theosofi pernah mengemukakan Khrisna Murti sebagai Al-Masih yang ditunggu-tunggu itu.

 

Kaum Ahmadi mengambil alasan atas kebenaran seruan mereka, ialah karena kian lama faham mereka kian tersiar, terutama di benua Eropa dan Amerika. Ini bukan alasan! Sebab kehausan manusia di kedua benua itu akan tuntunan rohani, setelah terlalu tenggelam dalam hidup kebendaan, menyebabkan ada diantara mereka yang lekas saja menerima suatu propaganda baru. Bukan faham Ahmadi saja yang mereka terima, gerakan yang lainpun mendapat pasaran subur juga disana. Di Jerman telah ada pula penganut faham Buddha dan mempunyai biara sendiri. Pelajaran tasawuf dari Inayat Khan mendapat penganut juga. Bahkan seorang yang mendakwakan dirinya Al-Masih dan memakai gelar Khrisna Vedanta di negara bagian Colorado, USA, telah mendapat pengikut pula. Demikian pula seorang kulit hitam di Pennsylvania (Philadelphia) mengaku dirinya Tuhan dan memakai nama Father Divine, tidak pula kurang penganut dan pengikutnya.

 

Di Amerika muncul tidak kurang 200 sekte Kristen. Masing-masing mengatakan bahwa mazhab mereka kian lama kian besar dan melebihi yang lain.

 

Terutama kaum Bahai! Mereka timbul di negeri Iran yaitu pada jaman pemerintahan Sultan Nasiruddin Syah. Seorang syah yang terkenal kejam pemerintahannya dan berkuasa tanpa batas. Bahaullah pada mulanya mengajarkan pembelaan hak kaum wanita, menganjurkan penghentian poligami, mengatakan bahwa dalam ajarannya tidak ada kekuasaan kaum mullah. Tentu saja ajaran “baru” dari Bahaullah ini menggoncangkan politik dan susunan masyarakat kerajaan, persekutuan kaum mullah dengan Syah. Kaum ini dikafirkan dan diperangi. Al-Bab sampai dibunuh dan Bahaullah dibuang keluar negeri. Padahal setelah kecerdasan beragama maju kembali, orang telah merasa bahwa tidak perlu ada nabi baru membawa ajaran baru. Seruan-seruan yang diserukan Bhaullah itu memang telah ada dalam tubuh Islam ajaran Muhammad sendiri, dengan tidak usah keluar dahulu dari Islam, dan membuat agama baru.

 

Adapun kaum Ahmadi dan usahanya melebarkan Islam ke benua Eropa dan Amerika, dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada juga. Mereka menafsirkan Quran kedalam bahasa-bahasa yang ada di Eropa. Padahal di jaman 100 tahun yang lalu masih merata kepercayaan tidak boleh mentafsirkan Quran. Pentafsiran Quran dari kedua golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang menginginkan kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali untuk memperdalam selidiknya tentang Islam. Orang sekarang telah pandai menimbang. Tafsir kaum Ahmadi itu mereka baca juga. Yang baik mereka terima dan kepercayaan tetang kenabian, kerasulan, kemahdian, ke-Al-Masih-an Mirza Ghulam Ahmad mereka singkirkan ketepi. Dan tafsir-tafsir karangan ulama Islam sendiripun telah muncul, yang isinya jauh melebihi tafsir Ahmadi. Kelebihan tafsir Ahmadi hanyalah karena ditulis dalam bahasa Barat, menarik hati kaum terpelajar cara Barat, tapi kosong ilmunya tentang bahasa Arab.

 

Di Indonesia sendiri, ketika gerakan-gerakan ini mulai masuk, agak ribut juga orang menerimanya. Apalagi mereka suka berdebat-debat sebagai alat propaganda untuk menarik perhatian. Dalam pada itu maka pengertian kaum Islam tentang agama bertambah mendalam, ahli-ahli Islampun telah timbul lebih banyak daripada dahulu. Kian lama kian sepi gerakan mereka. Yang dapat tertarik hanyalah orang-orang yang belum ada pengertiannya tentang Islam. Setinggi-tinggi usaha mereka adalah memelihara pengikut-pengikutnya. Di Tempat yang kuat Islamnya, seperti di Padang Panjang, terpaksa pengikut-pengikutnya itu meninggalkan kampung halaman, dan pindah ke kota Jakarta, sebab “bebas” mengerjakan kepercayaannya. Sikap merekapun telah berubah!

 

Jika semula pada waktu pertama kali mereka suka mengajak berdebat, diakhir-akhir ini mereka mengambil sikap hanya mempertahankan diri jika datang serangan. Tandanya bahwa pasaran mereka telah mulai sepi.

 

Adapun kalau ada tambahan pengikut mereka, tidaklah hal demikian mengherankan kita di Indonesia ini. Buka saja Ahmadiyah, Bahai-pun telah ada pengikutnya disini. Bukan saja Bahai dan Ahmadi, bahkan Katolik dan Protestan-pun ada juga tambahan penganutnya disini. Bahkan orang yang masuk komunis-pun ada. Sebabnya adalah karena Islam di Indonesia pada jaman yang sudah-sudah terdesak oleh beberapa desakan. Baik politik, atau ekonomi atau kejahilan tentang ajaran agama Islam sebenarnya.

 

Semuanya ini adalah cemeti untuk membangkitkan beransang kaum Muslimin, dibawah pimpinan ulama dan pimpinanNya supaya bangkit dan berusaha menegakkan “Dakwah Islamiyah,” lebih giat daripada yang sudah-sudah.

 

Alhasil, Muhammad adalah penutup dari segala rasul, dan bukanlah dia mata-cincin dari segala rasul. Sesudah dia tidak ada nabi lagi, baik nabi yang menasikhkan syariat Muhammad, ataupun nabi yang dikatakan “pengiring” Muhammad. Dengan kedatangannya sempurnalah binaan kepercayaan isi alam yang telah dibawa berturut-turut oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum dia. Beliau bersabda:

 

“Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi yang sebelum aku, adalah seumpama seseorang yang membangun bangunan-bangunan. Diperindahnya dan diperbagusnya binaan itu, kecuali (ketinggalan) suatu batu tembok pada sudut daripada sudut-sudutnya itu. Maka manusiapun berkelilinglah dan takjub melihat binaan itu, dan mereka berkata: ‘Alangkah baiknya ditutupi sebuah batu tembok yang kurang ini.’ Maka akulah batu tembok itu, dan akulah penutup segala nabi-nabi.”

 

Maka kalau ada orang mendakwakan dirinya nabi sesudah Muhammad, niscaya bohonglah pendakwaannya itu. Dan barang siapa yang mempercayai akan dakwaan orang itu, mendustakanlah dia akan pernyataan Muhammad. Sebab itu maka tidaklah dia golongan Ummat Islam (Ummat Muhammad).

 

Sesungguhnya demikian, sebagai Ummat Islam yang mengaku adanya keluasan dada (tasamuh), kita akan bergaul juga dengan mereka sebaik-baiknya, sebagaimana kita bergaul dengan Ummat Buddha, Kristen dan Yahudi.

 

Apalagi Nabi Muhammad saw. telah pula memeberi peringatan bagi kita bahwa sesuadh beliau wafat akan datang orang mendakwakan dirinya nabi atau rasul. Padahal mereka adalah pembohong. Nabi bersabda:

 

“Akan ada pada akhir kemudian ummatku orang-orang dajjal pembohong. Membicarakan kepada kamu perkara-perkara yang belum pernah kamu dengar, dan tidak pula pernah didengar oleh nenek-moyangmu. Maka berawas-awaslah kamu dan berawas-awaslah mereka. Janganlah sampai mereka menyesatkan kamu dan jangan memfitnahi kamu.”

 

Dan sabda beliau pula:

“Sesungguhnya akan ada pada ummatku tigapuluh orang pembohong! Semuanya mengaku bahwa dirinya Nabi. Akulah penutup segala nabi. Tidak ada nabi sesudah aku. Dan akan senantiasalah segolongan dari ummatku tegak diatas kebenaran. Tidak akan memberi bencana atas mereka siapapun yang menentang mereka, sehingga datanglah ketentuan Allah, dan mereka tetap saja demikian.”

 

Cukuplah wahyu dengan turunnya penutup segala kitab suci, yaitu Al-Quran. Bereslah risalat dan nubuwwat dengan datangnya penutup segala rasul dan nabi yaitu Muhammad saw.

 

Dengan kepercayaan yang demikianlah hidup kita dan mati kita.

* * *

Bagaimanapun kepintaran kita dan betapapun ilmu pengetahuan yang didapat oleh manusia di dalam alam ini, namun rahasia yang masih tersembunyi masih lebih banyak. Rahasia yang menjadi rahasia dari segala rahasia adalah lingkungan “ghaib,” yang hanya dapat dirasai adanya, tetapi tak dapat dicapai oleh pancaindera atau oleh akal sekalipun dimana letaknya.

 

Kita akui, memang kadang-kadang kecerdasan berfikir dan berakal mendapat kesimpulan tentang adanya, tetapi hanya sebagian kecil dari rahasianya. Sebagaimana Aristoteles dan beberapa filsuf yang lain yang menghitung “yang Ada” dengan filsafat, akhirnya bertemu dengan keyakinan akan adanya Tuhan. Tetapi itu hanya sebagian kecil saja. Lebih banyak yang tidak dapat kita ketahui. Maka datanglah nabi-nabi dan rasul-rasul, dan penutup dari segala nabi dan rasul, bercakap dengan wahyu, menerima “kalimat” dari Allah sendiri. Maka dengan tuntunan beliau hilanglah keraguan kita dan teranglah bagi kita jalan kesana, sesudah payah meraba-raba dan mencari-cari. Maka pikiran yang beliau berikan dan cita yang beliau tanamkan dihati kita adalah pikiran dan cita yang sempurna, yang diwaktu hidup dapat kita pakai dan diwaktu mati dapat kita tumpang.

 

Maka percayalah kita kepadanya dan kita turutlah garis langkah yang beliau tinggalkan, yang patut kita lalui, untuk keselamatan kita pada hidup ini dan hidup setelah ini …

 

Bârakallâhu lî wa lakum,

Matur syukran n Terima kasih.

Semoga Bermanfaat ya

 

Imam Puji Hartono/IPH(Gus Im)

 

“Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu”

kajian Islam vs Liberalisme _ “kebebasan : Muslim atau Liberal”

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ

 

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين وخاتم النبيين، سيدنا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه أجمعين.والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين

 

Terimakasih Pak Achmad Nurhono, tulisan pak Achmad Nurhono dari KL ini perlu dibaca oleh para ikhwan dan akhwat, saya hanya nambahkan memperjelas, agama apa yg di ridhoi oleh Allah SWT.

 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلَـٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى الأخِرَةِ مِنَ الْخَـٰسِرِينَ

 

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.  (QS.:3:85) rugi disini tidak lain tempatnya di neraka (itu semua ulama tafsir mengatakan demikian).

 

 

 

Coba perhatikan hadis shoheh dibawah ini bagi mereka yang tidak mengimani Muhammad SAW sebagai Rasulullah:

 

عَنْ رَسُولِ اللّهِ أَنَّهُ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هٰذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

 

Sedangkan dalam hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda: “Demi yang jiwa Muhammad di tanganNYa seseorang yang tidak menghiraukan dari ummat ini apakah Yahudi atau Nasrani kemudian dia mati dan tidak mengimani dengan apa yang telah diutuskan kepadaku kecuali dia sebagai penghuni neraka” (WALLADHIE NAFSU MUHAMMADIN BIYADIHI LAA YASMA’U AHADUN MIN HAADIHIL UMMATI YAHUUDYUN WA LAA NASYRANIYUN TSUMMA YAMUUTU WA LAM YU’MIN BILLADIE URSILTU BIHI ILLAA KAANA MIN ASHHAABIN NAARI) (HR. Muslim no. 153, kitab Iman, Imam Ahmad no 28301, Kitab Jamiul fawaaid 1/17)

 

 

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَـبِ وَالْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَـلِدِينَ فِيهَآ أَوْلَـئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

 

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. AlBayyinah/98:6)

 

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالاٌّخْسَرِينَ أَعْمَـلاً – الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيَوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا – أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِـَايَـتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلاَ نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَـمَةِ وَزْناً – ذَلِكَ جَزَآؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُواْ وَاتَّخَذُواْ ءَايَـتِى وَرُسُلِى هُزُواً

 

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al Kahfi/18:103)

 

Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi/18:104)

 

Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (QS. Al Kahfi/18:105)

Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al Kahfi/18:106)

 

والله أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب،  فتبارك الله رب العالمين،  حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم، والصلاة والسلام على سيدنا محمد سيد المرسلين، وإمام المتقين، وخاتم النبيين، وعلى آله وصحبه أجمعين. سُبْحَـنَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَـمٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ للَّهِ رَبّ الْعَـلَمِينَ

 

Semoga bermanfaat .

Salam,

الفقير الى الله  و رحمته

Achmad Muzammil

الفقير الى   عفو ربه و مغفرته و رحمته و رضوانه

احمد مزمل  و اهله وجميع المسلمين

 

Assalamu’alaikum wr wb,

Yth. Sahabat2 Muslimin dan Muslimat  yang Insya Allah selalu dirahmati dan diberkahi  Allah swt. dimanapun itu berada dimuka bumi ini

Atas izin Allah swt, Alhamdulilah, dapat Kembali lagi dikirimkan tulisan serial ke 2 : “Kebebasan : Muslim atau Liberal”,

dari paket kajian berseri “Islam versus Liberalisme”.

 

Semoga bermanfaat dalam ikut membangun tumbuhnya worldview pemikiran Islam yang kokoh bersumberkan Al-Quran dan As-Sunnah, dalam menyongsong tumbuh suburnya bangunan peradaban Islam yang agung di-Indonesia dimasa mendatang,

Amin 3X,  Ya Rabbal Alamin.

 

Wassalamu’ alaikum wr wb,

A.Nurhono

Kebebasan: Muslim atau Liberal

“Amerika Serikat adalah contoh negara sekular yang baik dan mempunyai kedudukan yang khusus di dunia dengan menawarkan kesempatan dan harapan bagi umat manusia untuk mengembangkan agama-agama,”

 

Begitulah pernyataan seorang pegiat paham Kebebasan Beragama di Indonesia dalam pengantar buku berjudul Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010). Lebih jauh, aktivis yang juga pendiri Nurcholish Madjid Society ini, menyebutkan: ”Jadi, contoh di Amerika Serikat sekularisme menghasilkan suatu perkembangan agama yang pesat sekali.”

 

Buku yang mempromosikan kebebasan beragama di Indonesia ini merekam pembicaraan puluhan tokoh tentang paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Beberapa diantara mereka – seperti Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Musdah Mulia – tercatat sebagai penggugat UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi.   Sejumlah pemikir di sini juga secara terbuka mendukung paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme untuk dikembangkan di Indonesia.

 

Bagi mereka, ketiga paham itu wajib dikembangkan di Indonesia dan menjadi prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di Indonesia. “Demokrasi tidak akan mampu berdiri tegak tanpa disangga dengan sekularisme, termasuk pluralisme dan liberalisme. Bahkan khusus sekularisme – yaitu pemisahan secara relatif  agama dan negara – adalah salah satu faktor terpenting dalam membangun demokrasi dan civil society yang kuat,” tulis si aktivis liberal tersebut.   Katanya lagi, “Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama, karena berpikir liberal, rasional dan kritis merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan bagi cita-cita dan kemajuan.”

 

Menurut dia, kebebasan beragama itu hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik jika  ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme itu berkembang dengan baik juga di Indonesia. Kalau sekularismenya itu berjalan dengan buruk, misalnya negara terlalu ikut campur dalam urusan agama dan ikut terlibat dalam menilai suatu agama itu sesat atau menyimpang, dan atau melakukan suatu kasus diskriminasi agama, pada saat itulah sebenarnya negara tidak melindungi kebebasan beragama warga negaranya. “Karena itu negara harusnya netral agama,” seru aktivis liberal, penulis Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini.

Dalam pandangan kaum penganut “sipilis”, negara netral agama adalah negara yang tidak memihak atau melebihkan satu agama atas agama lain. Negara juga tidak boleh memihak satu aliran agama tertentu. Dalam kamus negara sekular, tidak dikenal istilah mukmin, kafir, sesat, halal atau haram, mayoritas atau minoritas. Semua warga negara dipandang sama, apapun paham dan aliran agamanya.

 

Karena ketakjuban dan keimanan yang sangat kuat terhadap trilogi sekularisme, pluralisme, liberalisme – yang kini populer di kalangan kaum Muslim dengan istilah “sipilis” —  maka sang aktivis liberal ini lalu menyuarakan kebenciannya terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada 2005 menfatwakan paham “sipilis” sebagai  “barang haram”.  Kata sang aktivis liberal:  “Fatwa MUI ini tampak eksklusif, tidak pluralis, bahkan cenderung diskriminatif.”

Menurutnya, salah satu yang memicu masalah kebebasan beragama di Indonesia yang kuat belakangan ini adalah adanya fatwa MUI tentang pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. “Sampai hari ini ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme  telah menjadi suatu ide yang “menakutkan” bagi sebagian kalangan masyarakat Indonesia – terutama pasca keluarnya fatwa MUI,” kata pegiat paham “sipilis” ini.

*****

Alkisah, pada 25 November 2007, Lia Eden, pendiri agama Salamullah, mengirimkan surat kepada Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir  Manan. Surat itu berkop: ”GOD’S KINGDOM: TAHTA SUCI KERAJAAN TUHAN, EDEN”.  Lia murka kepada Mahkamah Agung RI yang menetapkan pengukuhan penahanan terhadap Muhammad Abdul Rahman. Dengan menggunakan nama  “Jibril Ruhul Kudus” Lia membubuhkan tanda tangannya: “LE2”.  Ia menulis dalam surat yang juga ditembuskan ke sejumlah Ormas Islam: “Atas nama Tuhan Yang Maha Kuat. Aku Malaikat Jibril adalah hakim Allah di Mahkamah Agungnya… Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku.”

 

Mungkin, hanya di Indonesia saja “Malaikat Jibril” punya tanda tangan dan berprofesi mencabut nyawa manusia. Dalam suratnya tahun 2007 tersebut, Lia sudah secara tegas menyatakan sebagai “Malaikat Jibril”. Tahun 2003, ia masih mengaku ”berkasih-kasihan dengan Melaikat Jibril”.   Dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003), sub judul ‘’Seks di sorga’’, diceritakan kisah pacaran dan perkawinan antara Jibril dengan Lia Eden:  ‘’Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.’’

 

Orang Muslim yang masih normal – tidak mengidap paham ”sipilis” — tentu akan menyatakan bahwa paham seperti itu sesat dan tidak baik untuk dikembangkan di tengah masyarakat.  Paham ini adalah satu bentuk kemunkaran.  Kata Nabi Muhammad saw: ”Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman.”

Dalam pandangan Islam, kesesatan yang disebarluaskan adalah satu bentuk kemunkaran. Maka, ulama wajib bertindak tegas. Ketika MUI ditanya, apakah aliran seperti Lia Eden ini sesat, maka MUI dengan tegas menyatakan, bahwa ajaran Salamullah yang dibikin Lia Eden adalah ajaran sesat.  Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang,  MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di Semarang menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP Provokator.” Sejumlah kelompok juga datang ke Komnas HAM menuntut pembubaran MUI.

 

Bagi kaum liberal, tidak ada kamus “sesat” atau “benar”. Yang penting kebebasan!  Padahal, setiap hari seorang Muslim diwajibkan berdoa agar ditunjukkan jalan yang lurus dan dijauhkan dari jalan orang yang sesat dan dimurkai Allah. Jadi, memang ada jalan yang benar dan ada jalan yang sesat. Tidak mungkin semuanya benar atau semuanya sesat.  Juga, tidak mungkin, semuanya pemikiran dan tindakan dibolehkan.

 

Tahun 2007, seorang tokoh Ahmadiyah di Indonesia menerbitkan buku dengan judul ”Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa” (2007).  Dijelaskannya kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu: ”Imam Mahdi dan Isa yang Dijanjikan adalah seorang nabi yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan dengan ketaatannya kepada YM. Rasulullah Saw. yang akan datang dan akan merubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang.” Dan apabila Imam Mahdi itu sudah datang, maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju.”  (hal. 69).

Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah – menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya dalam bahasa Urdu. Tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul ”Invitation to Ahmadiyyat”.

 

Buku ini menegaskan: ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377). Umat Islam dipaksa untuk beriman bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Masih al-Mau’ud. Lalu, umat Islam diberi ultimatum: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374).

 

Sementara itu, bagi umat Islam, posisi kenabian Muhammad saw sebagai Nabi terakhir adalah ajaran final. Sepeninggal beliau saw, sudah tidak ada lagi Nabi, meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi. Dalam kaputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengutip hadits Rasulullah saw, “Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaihi,  dari Tsauban).

Tentu, bagi penganut paham “sipilis” tidak ada bedanya antara mukmin dan kafir. Tidak ada beda antara tauhid dan syirik. Bagi mereka, agama bukan hal penting. Yang penting adalah kebebasan!   Negara diminta bersikap netral, tidak memihak antara iman dan kufur. Umat Islam juga diminta menghormati paham-paham yang menyimpang dari ajaran Islam. Semua dianggap sama, sederajat.  Yang penting tidak mengganggu orang lain secara fisik.  Bagi mereka, iman tidak penting, sebab agama apa pun dianggap sama saja; sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan – siapa pun dan apa pun Tuhannya.

*****

“The idea of God negates our freedom,” pekik seorang filosof terkenal Jean Paul Sartre.  Dengan pengalaman sejarahnya yang kelam saat berinteraksi dengan agama (Kristen), peradaban Barat kemudian memutuskan untuk menolak campur tangan agama dalam kehidupan. Agama diletakkan sebagai soal privat semata. Meskipun, sebenarnya, prinsip ini pun juga tidak mutlak. Di Inggris, Raja Inggris tetap menjabat sebagai Kepala Gereja Anglikan. Di Swiss, umat Islam ditolak untuk membangun menara masjid. Wacana pelarangan cadar di sejumlah negara Eropa juga mencuat. Padahal, kata mereka, ini urusan privat, dan tidak boleh dicampuri negara.

 

Paham “Kebebasan” (liberty/freedom)  secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776.  Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi.  Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan Revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, egality, fraternity”.  Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Utsmani.

 

Karena trauma terhadap dominasi agama dalam kehidupan, orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, enggan menjadikan hukum-hukum agama sebagai pedoman hidup mereka. Para pengagum dan penjiplak konsep kebebasan ala Barat ini, kemudian ingin menerapkan begitu saja konsep itu ke dalam kehidupan kaum Muslim. Padahal, konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ”ikhtiyar” yakni, memilih yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sebab, tujuan hidup seorang Muslim adalah menjadi orang yang taqwa kepada Allah. (lihat wawancara dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud).

 

Sedangkan Barat tidak punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua diserahkan kepada spekulasi akal dan dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan terjadinya ”clash of worldview” (benturan pandangan alam) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep “kebebasan” yang kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Sebab, tempat berpijaknya sudah berbeda. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang mana. Ia memilih Islam atau liberal.

 

Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Stanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sungguh biadab; menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw.  Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari ”kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama.

Jadi, pilihlah: Menjadi Muslim atau Liberal! (***)

Mengenal Mirza Ghulam Ahmad “Dedengkot Ahmadiyah”

Mirza Ghulam Ahmad, demikianlah nama pendiri jamaah Ahmadiyah yang terkenal akan kesesatannya itu. Namun sayang, tak banyak orang mengenali sosok Mirza Ghulam Ahmad dengan keanehan dan kesesatannya sehingga tak sedikit yang terjerumus mengikutinya dan meninggalkan Agama yang Haq ini (Islam).

Mirza Ghulam Ahmad yang lahir pada tahun 1839M menceritakan bahwa ayahnya bernama Atha Murtadha berkebangsaan mongol. (Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, kary. Mirza Ghulam Ahmad). Namun anehnya, ia juga mengatakan “Kelurga dari Mongol, tetapi berdasarkan firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari Persia, dan aku yakin ini. Sebab tidak ada yang mengetahui seluk-beluk keluargaku seperti berita yang datang dari Allah Ta’ala.” (Hasyiah Al-Arba’in, no.2 hal.17, karya Mirza Ghulam Ahmad). Dia juga pernah berkata, “Aku pernah membaca beberapa tulisan ayahku dan kakekku, kalau mereka berasal dari suku mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku bahwa aku dari bangsa Persia.” (Dhamimah Haqiqatil Wahyi, hal.77, kary. Mirza Ghulam Ahmad). Yang anehnya lagi, ia juga pernah mengaku sebagai keturunan Fathimah bin Muhammad. (lihat Tuhfah Kolart, hal. 29).

Aneh memang jika kita menelusuri asal usul Mirza Ghulam Ahmad. Dari asal-usul yang gak jelas inilah yang kemudian lahir juga pemahaman-pemahaman yang aneh dan menyesatkan.


Keadaan Keluarga Mirza Ghulam Ahmad

Mirza Ghulam Ahmad, pendiri jamaah ahmadiyah ini menceritakan keadaan keluarganya yang ditulisnya dalam kitab Tuhfah Qaishariyah, hal 16 karangannya, ia berkata, “Ayahku memiliki kedudukan dikantor pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya pemerintah Inggris. Dia juga pernah membantu pemerintah untuk memberontak penjajah Inggris dengan memberikan bantuan kuda dan pasukan. Namun sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga menjadi petani yang melarat.”

Kebodohan-kebodohan Mirza Ghulam Ahmad

Ia berkata, “Sesungguhnya saat Rasulullah dilahirkan, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal.” (Lihat Baigham Shulh, hal.19 karyanya).

Kata apa yang pantas kita juluki untuk orang yang satu ini, kalau bukan “bodoh” ? Padahal yang benar adalah bahwa ayah Rasulullah meninggal ketika beliau berada dalam kandungan ibunya.

Kebodohan lainnya nampak jelas dalam kitabnya Ainul Ma’rifah hal.286, ia berkata, “Rasulullah memiliki sebelas anak dan semuanya meninggal.”

Padahal, yang benar adalah bahwa beliau (Rasulullah) hanya memiliki 6 orang anak (+ Ibrahim = 7 0rang anak, 4 perempuan dan 3 laki-laki)

Bagaimana mungkin orang seperti Mirza Ghulam Ahmad ini mengaku Al-Masih ?

Kebejatan Mirza Ghulam Ahmad

Orang yang diagung-agungkan oleh pengikutnya ini memiliki banyak kebejatan yang tak layak dimiliki oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah. Ia tidak hanya menghina para ulama, bahkan ia juga menghina Para Rasul-rasul Allah.

Banyak dari kalangan ulama pada masanya yang menentang ajaran-ajaran “nyeleh” dedongkot Ahmadiyah ini. Bukannya membantah dengan bukti-bukti, Mirza Ghulam Ahmad malah menghina dengan mengatakan, “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari Babi.” (Najam Atsim, hal.21 karyanya)

Ia juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad hanya memiliki tiga ribu mukjizat saja, sedangkan aku memiliki lebih dari satu juta jenis.” (Tadzkirah Syahadatain, hal.72, karyanya)

Tidak puas menghina Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, Mirza Ghulam Ahmad juga menghina Nabi Isa dengan mengatakan,“Sesungguhnya Isa tidak mampu mengatakan dirinya sebagai orang sholih, sebab orang-orang mengetahui kalau dia suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik.” (Hasyiyah Sitt Bahin, hal.172, karyanya).

Masih tidak puas dengan hal tersebut, Mirza Ghulam Ahmad juga mengatakan,“Isa cenderung menyukai para pelacur, karena nenek-neneknya adalah termasuk pelacur.” (Dhamimah Atsim, Hasyiyah, hal. 7, karyanya)

Dan yang sangat mengherankan adalah, pada kesempatan lain ia juga “bersabda” dalam hadits palsunya, “Sesungguhnya celaan, makian bukanlah perangai orang-orang shiddiq (benar). Dan orang-orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat.” (Izalatul Auham, hal.66)

Lelucon apa ini ?

Masih dalam rangkaian kebejatan Mirza Ghulam Ahmad

Rupanya orang yang diagung-agungkan dan merupakan dedengkot Ahmadiyah ini, tidak hanya menghina Rasulullah, tetapi ditambahkan lagi dengan menghina para Sahabat Rasulullah seperti Abu Hurairah.

Mirza Ghulam Ahmad mengatakan, “Abu Hurairah adalah orang yang dungu, dia tidak memiliki pemahaman yang lurus.” (I’jaz Ahmadiy, hal.140, karyanya)
Sementara itu, ditempat lain ia mengatakan, “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk, aku lupa siapa saja yang sering menemui aku.” (Maktubat Ahmadiyah, hal.21 karyanya)

Kematian Mirza Ghulam Ahmad

Tidak sedikit para ulama yang menentang dan berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad agar ia bertaubat dan menghentikan dakwah sesatnya itu. Namun, usaha itu tidak juga membuat dedengkot Ahmadiyah ini surut dalam menyebarkan kesesatannya.

Syeikh Tsanaullah, satu diantara sekian banyak ulama yang berusaha keras menentangnya dan menasehatinya. Merasa terganggu dengan usaha Syeikh Tsanaullah tersebut, Mirza Ghulam Ahmad mengirimkan sebuah surat kepada Syeikh Tsanaullah yang berisi tentang keyakinan hatinya bahwa ia adalah seorang nabi, bukan pendusta, bukan pula dajjal sebagaimana julukan yang diarahkan kepadanya oleh para ulama. Ia juga mengatakan bahwa sesungguhnya yang mendustakan kenabiannya itulah pendusta yang sesungguhnya.

Diakhir suratnya itu, ia berdo’a dengan mengatakan, “Wahai Allah yang maha mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas Nama-Mu pada siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
Wahai Allah, jika aku benar sedangkan Tsanaullah berada diatas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tho’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin”

Sebuah do’a mubahalah yang dipinta Mirza Ghulam Ahmad. Dan ternyata Allah mendengar doa tersebut, setelah 13 bulan lebih sepuluh hari setelah do’a itu, yakni pada tanggal 26 Mei 1908, Mirza Ghulam Ahmad dibinasakan oleh Allah dengan penyakit Kolera yang diharapkan menimpa Syeikh Tsanaullah.

Sementara itu Syeikh Tsanaullah masih hidup sekitar 40 tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.

(Sumber : AlQadiyaniyah dirasat wa tahlil, Syeikh Ihsan Ilahi Zhahir, Pakistan)

Sekilas Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad

 

Info Tentang Sejarah Valentines Day (Bagi Orang Muslim)

Assalamu’alaikum wr.wb.,

 

Sejarah Hari Valentine : Perayaan Kesuburan bulan Februari

 

Di Roma kuno, 15 Februari adalah Hari Raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan orang setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing.

 

Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk Dewi Cinta bernama Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercus dari gangguan serigala.

 

Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan lari-lari di jalan2 kota Roma sambil membawa potongan-potongan kulit kambing dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah.

 

Hari Raya Gereja

 

Menurut Ensiklopedi Katolik, nama Valentinus paling tidak bisa merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda:

  • seorang pastor di Roma
  • seorang uskup Interamna
  • seorang martir di provinsi Romawi Africa.

Koneksi antara ketiga martir ini dengan hari raya cinta romantis tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius II, pada tahun 496 AD, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius II sengaja menetapkan hal ini untuk menggantikan hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.

 

1. Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Yesus dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

 

2. Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 AD

 

3. ?? Tidak Jelas yg Ketiga

 

Hari raya ini dihapus dari kalender Gereja Katolik pada tahun 1969 sebagai usaha untuk menghapus santo-santa yang asalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada kalangan tertentu.

 

Menjadi Hari Kasih Sayang di Negara Barat (Eropa)

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Kristen, Perayaan Lupercalia kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai ‘hari kasih sayang’ juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa di waktu ‘kasih sayang’ itu adalah waktu mulai mencari pasangan untuk bersemi ‘bagai burung jantan dan betina’ pada tanggal 14 Februari.

 

Apa Yang Dicari Oleh Anak Muslim?

Jadi… Apa yang dicari anak Muslim dengan meniru orang Barat yang non-Muslim, dalam suatu perayaan yang tidak jelas, dan malah sudah dibuang oleh Gereja?

Apakah contoh dari Nabi Muhammad SAW tidak cukup bagus untuk anak Muslim?

Mereka tidak paham sejarah Valentines Day, jadi kenapa masih diikuti?

 

36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

(QS. Al Israa’ 17:36)

 

“Dari Ibn Umar bahwa Nabi bersabda: Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka“.

(HR Ahmad, Abu Daud dan at-Tabrani.)

116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).

(QS. Al-An’am 6:116)

 

28. Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.

(QS. Al-Kafh 18:28)

 

Kenapa Orang Non-Muslim Butuh Hari Khusus Untuk Menyebarkan Kasih Sayang?? Kenapa Tidak Mau Setiap Hari Saja?

96. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.

(QS. Maryam 19:96)

 

Kenapa Anak Muslim Mau Mengikuti Kebiasaan Dari Orang non-Muslim Yang Allah Sebutkan Sebagai Orang Fasik??

16. Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.

(QS. Al Hadid 57:16)

 

Kutukan Bagi Orang Kafir Dari Allah

87. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la’nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la’nat para malaikat dan manusia seluruhnya,

(QS. Ali Imron 3:87)

 

Allah Adalah Musuhnya Orang Kafir

98. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat- Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.

(QS. Al Baqarah 2:98)

 

Yahudi dan Nasrani Tidak Akan Senang Hingga Kamu Ikuti Agama Mereka

120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

(QS. Al Baqarah 2:120)

 

….Dan sekarang dikatakan “Hari Raya Sekular”, supaya semua orang mau mengikutinya, termasuk ORANG Islam!!! Tinggalkan saja! Cukup contoh yang mulia dari Nabi Muhammad SAW untuk anak Muslim.

 

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

SEJARAH HIDUP NABI MUHAMMAD SAW DARI KELAHIRAN SAMPAI ANAK-ANAK

Muhammad Husain Haekal

USIA Abd’l-Mutthalib sudah hampir mencapai tujuhpuluh tahun atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.

Pilihan Abd’l-Mutthalib jatuh kepada Aminah bint Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra, – pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahb dan melamar puterinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Mutthalib juga kawin dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Mutthalib. Tak seberapa lama kemudian Abdullahpun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan isteri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya selain Aminah. Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

Begitu berita sampai kepada Abd’l-Mutthalib ia mengutus Harith – anaknya yang sulung – ke Medinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Mutthalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd’l-Mutthalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman – yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l Mutthalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.

Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam, demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l’Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Mutthalib.

Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Mutthalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji,1 bagi Tuhan di langit dan bagi makhlukNya di bumi,” jawab Abd’l Mutthalib.

Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itupun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d.

Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.

Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

Akan tetapi Halimah bint Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lainpun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah. Halimah berkata kepada Harith bin Abd’l-‘Uzza suaminya: “Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”

“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.”

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya.

Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?”

Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan – seperti cerita Halimah kepada Aminah – ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata:

“Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empatpuluh tahun.

Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.

Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.

Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?” (Qur’an 94: 1-3)

Apa yang telah diisyaratkan Qur’an itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.

Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Qur’an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur’an tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ketempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’l-Mutthalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd’l-Mutthalibpun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang berkata.

Kemudian Abd’l-Mutthalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Mutthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd’l-Mutthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd’l-Mutthalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Mutthalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu

Thalib.

Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Mutthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan – ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun – mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad.

Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.

Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.

Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.

Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat.3 Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka.

Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

———————————————

Dikutip tanpa izin dari Buku “S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D”

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA, Cetakan Kelima, 1980

Bârakallâhu lî wa lakum,

Matur syukran n Terima kasih.

Semoga Bermanfaat ya

Jakarta, 14 Februari 2011

Billahit taufiq wal hidayah

Wassalamualaikum wr.wb

Detik-Detik Maulid (Kelahiran) Nabi SAW

Assalamualaikum wr.wb

Sahabatku rahimakumullah,

besok,  tanggal 12 Rabiul awal, dimana kita sama2 peringati Maulid Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya ada baiknya kita baca ulang tarikh (Sejarah) beliau khususnya saat kelahiran beliau. Untuk itu saya copaskan tulisan yang db Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanjî.

Semoga dapat menambah kecintaan kita kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya.

Allahuma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad

Semoga bermanfaat ya,

Wassalamualaikum wr wb,

Sang Nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi penting” kebenaran Muhammad SAW  ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata :

Suatu hari saya bersama Rasulullah SAW  sedang duduk-duduk. Rasul SAW kemudian bertanya kepada para sahabat, “Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?

Para sahabat menjawab; ‘Para malaikat, wahai Rasul‘.

Nabi SAW  bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT  telah memberikan mereka tempat”.

Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah SWT , wahai Rasul”.

Nabi SAW . bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT  telah memberikan mereka tempat”.

Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”.

Nabi SAW . bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT  telah memberikan mereka tempat”.

Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.

Lalu Nabi SAW . bersabda, “(Mereka) adalah Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160].

Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”.

Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.

Hingga pada suatu pagi.

Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan keliling Ka’bah. Ini tidak lain bertujuan untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah SWT . Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah SWT .

Tepat sesaat setelah sayyid Abdul Muththalib memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya yang baru lahir, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Abdul Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.

Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.

Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Abdul Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.

Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”.

Dalam kebingungan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga. Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.

Sedangkan sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallam, bayi yang kelak menjadi Nabi terakhir.

Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad SAW . Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.

Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an mengkisahkannya dalam ayat Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128).

Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.

Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.

Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.

Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.

Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkhbarokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW . Nabi SAW , adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan

Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.

Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah SWT  telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad SAW  ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad SAW . hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.

Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad SAW .—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.

Dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.

Setelah Nabi Muhammad SAW . menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah SWT . kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.

Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad SAW  adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad SAW . membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].

Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad SAW tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah SWT  memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad SAW. Tapi, itulah, Allah SWT  tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.

Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad SAW . Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.

Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.

Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW . Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.

Dalam al-Qur’an, Allah SWT . berfirman, Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?”. Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]

Para nabi berjanji kepada Allah SWT . bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah SWT . Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad SAW . yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.(QS. 2:89)

Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad SAW . Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad SAW . bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi SAW . adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi SAW . namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi SAW . tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.

Âmîn.

Allahuma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad

(Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanjî)

Bârakallâhu lî wa lakum,

Matur syukran n Terima kasih.

Semoga Bermanfaat ya

Billahit taufiq wal hidayah

Wassalamualaikum wr.wb