dari hati untuk semua….

 

Assalamualaikum wr.wb

Sahabatku rahimakumullah,

Tragedi Karbala’, meski telah lewat 1371 tahun (kelender Hijriyah) atau 1330 tahun (kelender Masehi), namun masih mendengungkan nyanyian duka yang tiada henti. Berikut ini ringkasan dari Tragedi Berdarah tersebut yang kembali dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu, namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

 

Pertempuran Karbala terjadi pada tanggal 10 Muharram, tahun ke-61 dari kalender Islam (9 atau 10 Oktober  680 )di Karbala, yang sekarang terletak di Irak. Pertempuran terjadi antara pendukung dan keluarga dari cucu Muhammad, Husain bin Ali dengan pasukan militer yang dikirim oleh Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah saat itu. Pihak Imam Husain terdiri dari anggota keluarga Nabi Muhammad SAW , sekitar 128 orang. Husain dan beberapa anggota juga diikuti oleh beberapa wanita dan anak-anak dari keluarganya. Di pihak lain, pasukan bersenjata Yazid I yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad berjumlah 4.000-10.000.

 

Pertempuran ini kemudian diperingati setiap tahunnya oleh Muslim Syi’ah seperti halnya segolongan Sunni, dimana puncaknya pada hari kesepuluh, Hari Asyura

 

Latar Belakang

Peristiwa Karbala dimulai dari perbedaan model pemikiran Bani Hasyim (ahlul bait Nabi) dengan Bani Umayyah (keturunan Abu Sufyan). Bani Hasyim melihat agama sebagai agama, kenabian, petunjuk dan cahaya penerang. Sebaliknya Bani Umayyah melihat agama sebagai kerajaan, kekuasaan dan kedaulatan.

 

Ketika Ali ibn Abi Thalib wafat, maka putra tertuanya Hasan ibn Abi Thalib mendapatkan baiat dari kaum muslimin untuk menggantikan menjadi khalifah (jadi bukan karena wasiat ayahnya). Hasan menerimanya dengan penuh keterpaksaan. Sesunggguhnya beliau tak pernah menginginkan kekuasaan. Tapi ada satu golongan dari kubu Muawiyah (putra Abu Sufyan) yang menolak pembaiatan itu. Dia menginginkan kursi khalifah jatuh ditangannya (pada saat pemerintahan Usman bin Affan, sudah mulai dihembuskan isu dan fitnah, bahwa keluarga Imam Ali kw mengejar kursi kekhalifahan, padahal, Imam Ali-lah yang termasuk orang pertama yang memberikan baiat pada Usman bin Affan, begitu ketika perang, Usman wafat, Hasan dan Husein menghadap ayahnya dengan berlumuran darah, tapi sang ayah marah dan berkata, “mengapa kalian tidak sekalian mati dalam melindunginya?” )

 

Karenanya Hasan bin Ali yang lembut hati dan menyukai perdamaian berniat untuk menyerahkan saja kursi kekhalifahan kepada Muawiyah, tapi 40.000 pasukan tempur siap membelanya, menolak niat Hasan tersebut (Husein pun menolak niat saudaranya).

 

Maka, dua kubu berdiri siap untuk bertempur. Tapi Imam Hasan yang hatinya lembut dan memang sejak awal tidak punya ambisi untuk jadi khalifah, tidak tahan membayangkan pertumpahan darah dan perang saudara yang akan terjadi,di kalangan kaum muslimin. Beliau berdiri ditengah dan mempersembahkan kursi kekhalifahan pada Muawiyah dengan beberapa syarat dan dalam ssuatu perjanjian. Diantaranya adalah Muawiyah tidak boleh mengangkat penggantinya kelak, semuanya harus dikembalikan kepada kaum muslimin.

 

Selanjutnya Muawiyah pulang ke Syam, ke istananya yang megah, sedangkan Hasan dan Husein bin Ali kembali ke Madinah.

 

Muawiyah menjadi pemimpin yang bengis dan zalim, sementara makin banyak kaum muslimin yang mengikuti pengajian yang ditegakkan Imam Hasan dan Imam Husein. Mereka berdua semakin dicintai kaum muslimin. Kondisi ini membuat dengki Muawiyah, sehingga salah seorang istri dari keluarga Abu Sufyan meracuni Imam Hasan. Imam Hasan syahid, namun tidak diizinkan pleh Muawiyah untuk dimakamkan disebelah Rasulullah, akhirnya beliau dimakamkan di Baqi’.

 

Muawiyah mengangkat gubernurnya di Bashrah, yaitu Ziyad. Ziyad dijadikannya sebagai orang yang sangat keras dan kejam. Sementara ia sendiri mulai bersandiwara sebagai orang yang lemah lembut. Sampai di akhir hayatnya ia sengaja mengangkat Yazid anaknya (seorang yang sangat jauh dari cakap, suka berfoya foya, berjudi dan mabuk mabukan), untuk menggantikan kedudukannya, sekaligus melupakan perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali.

 

Berita itu disampaikan sekaligus dimintakan baiatnya oleh Marwan, gubernur Madinah. Tentu saja ditolak keras oleh Husein ibn Ali, Abdurrahman ibn Abu Bakar, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Zubair. Dan yang paling keras diantara mereka berempat itu adalah Abdullah ibn Zubair, dialah yang diwasiatkan Muawiyah kepada Yazid untuk mencincangnya jika ia dapat ditaklukkan.

 

Sejak wafatnya Hasan, Husein ibn Ali pergi ke Makkah untuk mencari keamanan dan perlindungan, beliau disertai dua saudarinya, Zainab dan Ummu Kultsum, saudaranya Abu Bakar, Abbas dan Ja’far, juga putra saudara-saudara kandungnya Hasan ibn Ali.

 

Suatu ketika rakyat Kufah mengirim surat kepada beliau, berisi ajakan agar datang kepada mereka untuk mendapatkan baiat dan menolak kesewang-wenangan yang dialami umat dengan naiknya Yazid. Husein mengirimkan utusan menuju Kufah, yaitu Musallam ibn Uqail ibn Abu Thalib untuk melihat kesungguhan rakyat Kufah.

 

Mata-mata Yazid mengetahui hal tersebut, tapi gubernur Kufah saat itu Nu’man menolak memerangi utusan Husein, sehingga ia kemudian dicopot dan digantikan oleh Abdullah ibn Ziyad penguasa Bashrah. Ibn Ziyad mewarisi kekejian ayahnya, ia juga membunuh utusan Husein yang datang ke Bashrah untuk mengajak rakyat Bashrah melakukan perlawanan.

 

Ibn Ziyad memasuki Kufah secara diam diam, tapi secara unik dapat diketahui oleh Musallam ibn Uqail, namun, Musallam tidak melakukan penyergapan terhadap ibn Ziyad, karena sebagai seorang mukmin, Rasululullah saw melarang melakukan tipu daya dan membunuh dengan menyergap.

 

Musallam berhasil mendapatkan simpati dan baiat rakyat Kufah yang telah lama merindukan Husein, beliau mengirim surat kepada Husein untuk segera datang ke Kufah. Namun, dengan tipu daya licik dari Ibn Ziyad, justru Musallam yang disergap dan dipenggal kepalanya oleh ibn Ziyad.

 

Husein belum mengetahui hal ini, hingga beliau mempersiapkan keberangkatannya bersama seluruh keluarganya. Beliau mengirim utusan kepada rakyat Kufah memberitahukan kedatangannya, orang tersebut adalah Qais. Sementara kaum muslimin beserta sahabat sahabat Husein, berusaha menghentikan tekad Husein untuk datang ke Kufah, mereka memiliki firasat bahwa Husein akan mengalami peristiwa yang buruk, tapi tekad Imam Husein sudah bulat. Andai saja Yazid ibn Muawiyah adalah seorang yang cakap, pintar dan berakhlak mulia, maka ia-lah orang pertama yang memberikan baiatnya, namun kondisinya adalah kebalikan dari semua itu, jika tidak dilawan sekarang, bagaimanakah pertanggungjawabannya sebagai ahlul bait yang tersisa dihadapan Allah, jadi bukan karena kekuasaan ia berperang. Husein tidak akan mebiarkan agama Allah dan hak manusia menjadi permainan di tangan Yazid.

 

Husein merasa bertanggung jawab terhadap seluruh keluarga besarnya, karenanya ia membawa serta seluruh keluarganya menuju Kufah (ia tidak menyangka keadaan di Kufah sudah sepenuhnya dikuasai ibn Ziyad).

 

Dalam perjalanan menuju Kufah, Husein bertemu dengan rombongan Zuhair ibn Qiyan yang sedang melakukan perjalanan. Husein membisikkan kata-kata “apakah Zuhair ingin memperoleh surga sekarang ataukah nanti?”, maka Zuhair pun bergabung dengan rombongan Husein, sedangkan keluarganya disuruh kembali ke kampung halaman.

 

Ditengah perjalanan, akhirnya Husein memperoleh kabar tentang keadaan semua utusan yang diperintahkannya ke Kufah dan Bashrah, namun Husein dan rombongan sudah bertekad bulat untuk menepati janjinya pada undangan rakyat Kufah.

 

Ibn Ziyad mengisolasi rakyat Kufah, dan mengutus pasukan untuk mencegat rombongan Husein, pasukan tersebut dipimpin oleh Al- Hurr ibn Yazid Al-Tamimi. Pasukan ini berhasil menemukan Husein, namun keadaan pasukan sangat haus menahan panas, mereka hampir mati lemas, dan melihat hal tersebut, Imam Huseien menyuruh sahabatnya memberikan air kepada pasukan tersebut. Mereka shalat berjamaah, dan berbincang bincang.

 

Perbincangan sampailah pada maksud pasukan untuk membawa Husein dan rombongan ke hadapan Ibn Ziyad, tentu saja Husein menolak mentah mentah. Pasukan yang telah ditolong sebelumnya itu pun mulai menghalang halangi kepergian rombongan Husein, mereka dicegat kesana kemari, bahkan menuju mata air. Pasukan membiarkan rombongan Husein kehausan, sementara sebelumnya mereka justru ditolong..Husein pun marah dan mengumumkan perang terhadap pasukan (karena dalam rombongan Husein juga terdapat anak kecil yang sedang sakit, hingga sangat membutuhkan air). Namun Al-Tamimi menolak perang, ia hanya ditugaskan menahan Husein, bukan memeranginya oleh ibn Ziyad, demikian ia berkata.

 

Ketika Husein dipuncak amarahnya, ia bertanya, apa nama tempat dimana mereka sekarang berada, mereka menjawab “Karbala”, maka sirnalah harapan Husein, ia gelisah dan putus asa, disinilah, tempat inilah yang sudah diramalkan oleh kakeknya Rasulullah saw, ayahnya Ali ibn Abi Thalib r.a, sebagai akhir dari perjalanannya….

 

Epic akhir Sang Cucu Nabi

Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita harus shalat!!”

Sia-sia.

 

Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh yang mencoba mendekat.

 

Pria yang berjuluk Sayyid Syabab Ahlil Jannah itu kembali menghela nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini tinggal beberapa…

 

Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.

 

Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya pengap gurun yang tercium, udara ditepian sungai Eufrat siang itu juga mulai menebarkan bau amis darah.

 

Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang, yang terjadi antara Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari garis Al-Husain. Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian itu sudah diramalkan Nabi Muhammad SAW di hari Al-Husain lahir.

 

Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah Az-Zahra telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya. Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras, sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.

 

Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi lalu diberi nama Al-Husain, semakna dengan nama sang kakak yaitu Al-Hasan yang berarti kebajikan.

 

Berita dari Jibril

Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini Anda menangis, wahai Rasulullah?.”

 

“Jibril baru saja memberitahu kepadaku, kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga menunjukkan tanah di mana Al-Husain terbunuh.”

 

Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamilnya, menceritakan, Nabi pernah memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husain akan terbunuh dalam sebuah pertempuran.

 

Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husain telah meninggal dunia karena dibunuh.”

 

Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian Al-Husain. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota dan menggemparkannya.

 

Perang Karbala’ adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah Ummul Mukminin, dan Perang Shiffin, antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Sebagaimana perang saudara sebelumnya, Perang Karbala juga menghadapkan dua tokoh generasi kedua Islam yang merupakan putra sahabat-sahabat terdekat Nabi, Al-Husain putra Sayyidina Ali dengan Umar putra Sa’ad bin Abi Waqash yang mewakili Yazid bin Muawiyyah dan gubernurnya di Kufah, Ubaidullah bin Ziyad.

 

Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Al-Husain pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Al-Husain, Ali Al-Akbar; dan kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.

 

Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal Al-Husain, Ali Al-Akbar bin Al-Husain, dan Abbas saja yang tersisa.

 

Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husain telah habis. Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.

 

Dengan wajah iba Al-Husain menentramkan putranya, “Bersabarlah anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah SAW akan datang untuk memberimu minum dengan kedua tangan beliau yang mulia.”

 

Kemenakan Tercinta

Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani terhenti ketika sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuang sang ayahanda.

 

Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan berlari menuju Imam Husain yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Al-Husain. Kematian Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala’.

 

Al-Husain, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”

 

Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah yang akan membokong Al-Husain. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu. Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus tangan mungilnya.

 

Al-Husain segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya itu. Dengan lembut ia berbisik di telingan kemenakan kecilnya, “Tabahkan hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu.”

 

Kini hanya tersisa Al-Husain dan adik tirinya Abbas bin Ali. Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air dengan kedua telapak tangannya.

 

Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husain. Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan. Kepala suami Syahbanu, putri kerajaan Persia, itu kemudian tengadah dan berdoa, “Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu rasul-Mu.”

 

Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang menjelang menjadi saksi Al-Husain yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka senjata.

 

Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain. Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi nyawa cucu Rasulullah?.”

 

Sementar Al-Husain, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung. Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Alah dari pada pembunuhanku ini. Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”

 

Pahlawan Karbala’

Melihat Al-Husain sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru, “Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau melihat Husain dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.

 

Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak buahnya tak ada yang berani menyerang al-Husain, ia pun membentak, “Terkutuk kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan hadiah yang besar bagi kalian.”

 

Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun dari punggung kudanya dan memenggal kepala Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib. Al-Husain wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.

 

Tak cukup puas, serdadu-serdadu yang sudah kesetanan itu lalu menjarah benda berharga yang melekat pada mayat-mayat pejuang pembela Al-Husain dan merampok barang bawaan di tenda-tenda rombongan Ahlul Bait. Saat itulah Syimar menemukan Ali Asghar, putra Al-Husain, yang sedang terbaring sakit di dalam tenda dengan ditemani bibinya, Zainab. Lelaki biadab itu pun bermaksud menghabisi Ali Ashgar, kalau saja Zainab tidak mati-matian mempertahankannya.

 

Sambil memeluk keponakannya, wanita pemberani itu berteriak, “Apa akan kau bunuh juga anak yang sedang sakit ini?.”

 

Syimar ragu-ragu sejenak sebelum memilih untuk meninggalkannya. Mungkin ia berpikir, tanpa dibunuh pun anak yang sedang sakit itu akan mati sendiri, karena kehabisan bekalan makanan, minuman dan obat-obatan. Namun siapa yang tahu rahasia Allah? Justru dari anak yang nyaris terbunuh itulah keturunan Al-Husain kemudian dapat berlanjut hingga saat ini.

 

Daftar yang syahid dari pihak Imam Husain :

  • Saudara : Abbas bin Ali;  Abdullah bin Ali;  Jafar bin Ali; Utsman bin Ali; Ibrahim bin Ali; Abu Bakar bin Ali; Amru bin Ali; Muhammad bin Ali
  • Putra Hussein bin Ali : Ali Akbar bin Husain; Ali Asghar bin Husain; Abdullah bin Hussain bin Ali
  • Putra Hasan bin Ali ; Abdullah bin Hasan – putera tertua; Qasim bin Hasan – putera bungsu; Zaid bin Hasan; Hasan bin Hasan bin Ali; Abu Bakar bin Hasan bin Ali
  • Lainnya : Muhammad bin Abdullah bin Ja’far; Aun bin Abdullah; Ubaidah bin al-Harith; Ubayd-Allah bin Abdullah bin Ja’far.
  • Keturunan Aqil bin Abu Thalib ; Ja’far bin Aqil; Abdul Rahman bin Aqil; Abdullah bin Aqil; Muhammad bin Aqil; Muhammad bin Abu Said bin Aqil; Ibrahim bin Muslim bin Aqil; Abdul Rahman bin Muslim bin Aqil; Abdullah bin Muslim bin Aqil ;Muhammad bin Muslim bin Aqil

 

Ada dua yang tersisa dari Ahlul bait, Zainab binti Ali bin abi Thalib, putri Fatimah binti Rasulullah..dan bocah kecil yang sakit, Ali ibn Husein Al-Ashghar. Mereka digiring menuju Ibn Ziyad, tapi dengan dada membusung penuh kehormatan. Mereka menjawab telak pertanyaan membalikkan ejekan ejekan yang dilontarkan Ibn Ziyad, sampai Ibn Ziyad menjadi kecut. Hampir Ali dibunuhnya, namun Zainab melindungi. Suatu saat kita akan mengenal nama besar ahlul bait yang tersisa ini, ‘Ali Zainal Abidin’.

 

Kejadian yang sama terulang di depan Yazid, tuan mereka, Yazid tak mampu berkata kata, bahkan melarikan diri dari hadapan Zainab dan Ali.

 

Peristiwa Karbala menyulut kemarahan kaum muslimin, mereka bersatu melakukan pemberontakan besar besaran di Makkah dan Madinah, Yazid dan pengikutnya mati secara terhina…

 

“Sesungguhnya makar Allah lebih dashyat…”

 

Sayangnya, beberapa orang dalam memahami peristiwa Karbala menjadi berlebihan dengan diperingatinya tanggal 10 Muharam dengan menyakiti diri mereka sendiri, meski berusaha menghayati kejadian yang dialami Imam Husein di Karbala pada waktu itu.

 

Demikianlah. Episode pilu hari itu ditutup dengan digelandangnya wanita-wanita Ahlul Bait dan Bani Hasyim beserta anak-anak mereka menuju kota Kufah, menghadap sang arsitek Perang Karbala, yakni Gubernur Ubaidullah bin Ziyad. Dengan tangan terbelenggu dan pakaian ala kadarnya, wanita-wanita mulia itu digiring sebagai tawanan perang. Beberapa hari kemudian rombongan manusia-manusia palin utama di zamannya itu kembali digelandang menuju Damaskus, Syiria, untuk dihadapkan kepada Yazid, penguasa tertinggi pemerintahan Dinasti Umayyah.

 

Para penguasa Umayyah mungkin tak menyadari, peristiwa 10 Muharram 61 H itu akan dikenang sepanjang masa sebagai bagian terkelam dalam sejarah peradaban Islam dan mendudukan mereka sebagai penjahat yang harus dimusuhi sepanjang masa. Terbukti dengan meletusnya pemberontakan demi pemberontakan berdarah yang mengatasnamakan penuntutan balas kematian Al-Husain, hanya berselang tujuh atau delapan tahun setelah insiden Karbala’.

 

Sampai di sini berakhirlah episode perang Karbala’, yang sekali lagi kembali dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu, namun untuk sekedar mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi, dimanapun dan kapanpun.

 

(Dinukil dari berbagai sumber antara lain  : 1) Buku Best seller “Tentara Langit Karbala: Epik Suci Cucu Sang Nabi”, ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis termasyur Univ Al Azhar Kairo,2) Baitun Nubuwwah, karya Al-Habib Muhammad Al-Hamid Al-Husaini, dan 3) Husain: The Great Martyr, karya Prof. Fazl Ahmad, MA)

Wallahu a’lam bishshawab.

 

Terima kasih, Semoga Bermanfaat

Comments on: "Mengenang Tragedi Berdarah Di Tepian Sungai Eufrat 1371 Tahun lalu" (3)

  1. Ariyanto Duta Wiratama said:

    congRatszz buat review kisah kepahlawanan Hussain bin Ali dan Hasan bin Ali,…baru pertama kali ini tau,…nice share !!!!!!!!!!

  2. bl4ck_oya said:

    Semoga para AHLUL BAIT RASULLULAH SAW….. Selalu dalam lindungan dan rahmat ALLAH SWT……!!!

  3. semoga allah jadikan semua orang muslim seperti imam husain…tegar dan pemberani mempertahankan iman dan harga diri

Leave a reply to Ariyanto Duta Wiratama Cancel reply